Rabu, 06 November 2013

Pelanggaran Etika Bisnis


1.    Teori

Kecurangan atau fraud didefinisikan oleh G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan  Joseph T.Wells (1993:3) sebagai berikut:  “ Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver  Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu.  Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Albrecht (2012:6) mengemukakan dalam bukunya “Fraud examination” menyatakan bahwa:  fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means whichhuman ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, toget an advantage over another by false representations. No definite andinvariable rule can be laid down as general proportion in defining fraud,as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limithuman knavery”.
Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Albrecht, kecurangan adalah istilah umum, dan mencakup semua cara dimana kecerdasan manusia dipaksakan dilakukan oleh satu individu untuk dapat menciptakan cara untuk mendapatkan suatu manfaat dari orang lain dari representasi yang salah. Tidak ada kepastian dan invariabel aturan dapat ditetapkan sebagai proporsi yang umum dalam mendefinisikan penipuan, karena mencakup kejutan, tipu daya, cara-cara licik dan tidak adil oleh yang lain adalah curang. Hanya batas-batas yang mendefinisikan itu adalah orang-orang yang membatasi kejujuran manusia
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).



2.    Kasus/Artikel

TPK Koja adalah terminal petikemas di tanjung priok yang dibangun dan dikelola oleh PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss Terminal Petikemas yang meliputi panjang dermaga 650 M, lapangan penumpukan petikemas (container yard)-utilitas-dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis.  Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengeloaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994 yang kemudian diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan 0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja saat itu dibangun dengan kapasitas produksi (throughput) sebesar 1 juta TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi tahun 1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham PT Humpuss Terminal Petikemas (selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual kepada Ocean Deep Invesment Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment Holding Ltd.(40,4%) yang berbadan Mauritius  dan selanjutnya HTP berubah nama menjadi PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum asing.  Pada tanggal 28 agustus 2000 berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum Indonesia dan akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia (selanjutnya disebut PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan operator terminal dunia yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir 500 Milyar rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk PT Pelindo II dan 47,88 untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang profitable dan prospektif/
Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua) permasalahan besar. Permasalahan itu adalah :
1.      PERMASALAHAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Seperti diketahui TPK Koja hanya sebuah unit terminal petikemas yang dikelola bersama secara terpisah dari kedua perusahaan  induknya (Pelindo II dan HPI). Namun demikian apa yang dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah bisnis pelabuhan yaitu bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana dalam kesehariannya Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada  perusahaan induk atas segala pengelolaannya. Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa merekrut dan mempekerjakan karyawan tetap. Menurut  pasal 64  UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2(dua) metoda yaitu : perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum. Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan,yaitu :
·         KSO TPK Koja melakukan kegiatan pokok pelabuhan tetapi karyawan yang dipekerjakan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan induknya (PT Pelindo II atau PT HPI)
·         KSO TPK oja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum  tetap tetapi mempunyai karyawan tetap.

Pelanggaran Hukum di atas dapat diselesaikan dengan 2 alternatif :
·         KSO TPK Koja menjadi unit terminal petikemas yang keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada pembagian keuntungan dengan PT HPI.
·         KSO TPK Koja ditingkatkan menjadi perusahaan patungan yang berbadan hukum tetap (join venture company) dimana karyawannya menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
·          
2.      PERMASALAHAN HUKUM KORPORASI
Seperti dijelaskan sebelumnya KSO TPK Koja dikelola dengan model Kerja Sama Operasi antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Hutchison Port Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yaitu :
a.       Status kepemilikan 100% saham asing setelah pengambilahan alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA  yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
b.      Status Perjanjian Kerja Sama Operasi akibat pengambil alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port Indonesia. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa Pelindo II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT Hutchison Port Indonesia. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari Humpuss Terminal Petikemas kepada PT HPI telah dilakukan transaksi dan korespondensi antara Pelindo II dan HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya pelaksanaan kerjasama saat ini cacat HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.
c.       Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja. Berdasarkan Perjanjian Induk Kerjasama operasi,manajemen KSO dikepalai oleh General Manager yang membawahi 4(empat) deputy GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007 General Manager dan deputy GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur. Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum karena TPK Koja hanya sebuah badan bentukan dari Kitan Undang Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI setelah perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah,kompensasi sewa rumah, uang pengganti BBM,asuransi jabatan,dan tantiem yang diistilahkan dengan penghargaan atau insentif managemen. Secara keseluruhan masing-masing direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir   1  MILYAR rupiah. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk beberapa direksi Pelindo II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.

3.      Analisis

Menurut saya dapat dilihat bahwa menurut Albrecht, kecurangan adalah istilah umum, dan mencakup semua cara dimana kecerdasan manusia dipaksakan dilakukan oleh satu individu untuk dapat menciptakan cara untuk mendapatkan suatu manfaat dari orang lain dari representasi yang salah.
Nah berdasarkan definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa Dari Kasus di atas Perusahaan TPK KOJA melakukan pelanggaran etika hukum ketenagakerjaan dan korporasi.Dari Kasus diatas pihak yang melakukan pelangaran adalah pihak manajemen KSO TPK KOJA, pihak Pelabuhan Indonesia II (PELINDO II),dan Pihak Hutchison Port Indonesia (HPI).
Akibat dari pelanggaran ang dilakukan adalah pelaksanaan kerjasama antara PT.PELINDO II dan PT.HPI saat ini cacat hukum dan menyebabkan ketidakabsahaan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK KOJA dikarenakan tidakada dokumen yang mengatakan bahwa PELINDO II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT.HPI.

4.      Referensi

http://alfiauliyansyah.blogspot.com/2013/11/pelanggaran-etika-bisnis.html
http://dhaniafadillah.blogspot.com/2013/02/kasus-perusahaan-yang-melakukan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar