1. Teori
Kecurangan atau fraud didefinisikan
oleh G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan
Joseph T.Wells (1993:3) sebagai berikut:
“ Fraud is criminal deception intended to financially benefit the
deceiver” Kecurangan adalah penipuan
kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan
kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat
tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Albrecht
(2012:6) mengemukakan dalam bukunya “Fraud examination” menyatakan bahwa: “fraud is a generic term, and embraces all
the multifarious means whichhuman ingenuity can devise, which are resorted to
by one individual, toget an advantage over another by false representations. No
definite andinvariable rule can be laid down as general proportion in defining
fraud,as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which
another is cheated. The only boundaries defining it are those which limithuman
knavery”.
Dari pengertian kecurangan
(fraud) menurut Albrecht, kecurangan adalah istilah umum, dan mencakup semua
cara dimana kecerdasan manusia dipaksakan dilakukan oleh satu individu untuk
dapat menciptakan cara untuk mendapatkan suatu manfaat dari orang lain dari
representasi yang salah. Tidak ada kepastian dan invariabel aturan dapat
ditetapkan sebagai proporsi yang umum dalam mendefinisikan penipuan, karena
mencakup kejutan, tipu daya, cara-cara licik dan tidak adil oleh yang lain
adalah curang. Hanya batas-batas yang mendefinisikan itu adalah orang-orang
yang membatasi kejujuran manusia
Etika bisnis merupakan studi
yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi
pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan
perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
2. Kasus/Artikel
TPK Koja adalah terminal petikemas di tanjung priok yang
dibangun dan dikelola oleh PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dan PT Humpuss
Terminal Petikemas yang meliputi panjang dermaga 650 M, lapangan penumpukan
petikemas (container yard)-utilitas-dan jalan lingkungan seluas 30,6 Ha, 6 unit
container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk dan 50 chasis. Perjanjian
kerjasama pembangunan dan pengeloaan dua perusahaan tersebut dituangkan dalam
Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan 001/HTP-PI.II/VIII/1994 yang kemudian
diamandemen menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan
0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja saat itu dibangun dengan kapasitas produksi
(throughput) sebesar 1 juta TEUs per tahun. Dikarenakan krisis ekonomi tahun
1998 yang disusul dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 saham PT
Humpuss Terminal Petikemas (selanjutnya disebut HTP) sebesar 100% dijual kepada
Ocean Deep Invesment Holding Ltd.(59,6%) dan Ocean East Invesment Holding
Ltd.(40,4%) yang berbadan Mauritius dan selanjutnya HTP berubah nama
menjadi PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum asing. Pada tanggal
28 agustus 2000 berdirilah PT Ocean Terminal Petikemas yang berbadan hukum
Indonesia dan akhirnya berubah lagi menjadi PT Hutchison Port Indonesia
(selanjutnya disebut PT HPI) pada tanggal 14 agustus 2007. PT HPI adalah anak
perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong yang merupakan
operator terminal dunia yang memiliki 70 pelabuhan di 24 negara. Hingga saat
ini TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi
dicapai pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan
bersih hampir 500 Milyar rupiah. Dengan kesepakatan pembagian keuntungan 52,12%
untuk PT Pelindo II dan 47,88 untuk PT HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis
yang profitable dan prospektif/
Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua
pemilik TPK Koja menyimpan 2(dua) permasalahan besar. Permasalahan itu adalah :
1.
PERMASALAHAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Seperti diketahui TPK Koja hanya sebuah unit
terminal petikemas yang dikelola bersama secara terpisah dari kedua
perusahaan induknya (Pelindo II dan HPI). Namun demikian apa yang
dikelola TPK Koja merupakan kegiatan pokok dalan sebuah bisnis pelabuhan yaitu
bongkar-muat dan receiving-delivery petikemas dimana dalam kesehariannya
Manajemen KSO TPK Koja yang bertanggung jawab kepada perusahaan induk
atas segala pengelolaannya. Dan uniknya Manajemen KSO ini bisa merekrut dan
mempekerjakan karyawan tetap. Menurut pasal 64 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2(dua) metoda yaitu : perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja atau buruh. Dalam pasal
65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan pengelolaannya tersebut
tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya harus berbadan hukum.
Disinilah letak PELANGGARAN HUKUM KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan,yaitu
:
·
KSO TPK Koja melakukan kegiatan pokok pelabuhan
tetapi karyawan yang dipekerjakan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan
induknya (PT Pelindo II atau PT HPI)
·
KSO TPK oja bukan perusahaan yang berdiri sendiri,
bukan perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum tetap
tetapi mempunyai karyawan tetap.
Pelanggaran
Hukum di atas dapat diselesaikan dengan 2 alternatif :
·
KSO TPK Koja menjadi unit terminal petikemas yang
keberadaannya merupakan salah satu unit usaha yang tidak terpisahkan dari
perusahaan induk PT(Persero) Pelabuhan Indonesia II dimana karyawannya
merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap ada pembagian keuntungan
dengan PT HPI.
·
KSO TPK Koja ditingkatkan menjadi perusahaan
patungan yang berbadan hukum tetap (join venture company) dimana karyawannya
menjadi karyawan tetap perusahaan baru ini.
·
2.
PERMASALAHAN HUKUM KORPORASI
Seperti dijelaskan sebelumnya KSO TPK Koja dikelola
dengan model Kerja Sama Operasi antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II dan
PT Hutchison Port Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang
menjadi permasalahan, yaitu :
a.
Status kepemilikan 100% saham asing setelah
pengambilahan alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port
Indonesia. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun 1967; PP No. 83 tahun 2001 dan
Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa kepelabuhanan, PMA hanya boleh
mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU PMA yang baru No. 25 tahun
2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA hanya boleh mengusai maksimal saham
45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal tersebut keberadaan HPI di
Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
b.
Status Perjanjian Kerja Sama Operasi akibat
pengambil alihan PT Humpuss Terminal Petikemas oleh PT Hutchison Port
Indonesia. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen pun yang menyatakan bahwa
Pelindo II mempunyai hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan
PT Hutchison Port Indonesia. Padahal sejak dilakukan penjualan saham dari
Humpuss Terminal Petikemas kepada PT HPI telah dilakukan transaksi dan
korespondensi antara Pelindo II dan HPI. Hal ini terjadi karena belum diubahnya
salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai saat ini
yang tercantum masih PT Pelindo II dan PT Humpuss Terminal Petikemas. Akibatnya
pelaksanaan kerjasama saat ini cacat HUKUM dan menyebabkan ketidak-absahan
seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja.
c.
Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK
Koja. Berdasarkan Perjanjian Induk Kerjasama operasi,manajemen KSO dikepalai
oleh General Manager yang membawahi 4(empat) deputy GM. Akan tetapi mulai 1
Februari 2007 General Manager dan deputy GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5
Direktur. Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum karena TPK Koja
hanya sebuah badan bentukan dari Kitan Undang Undang Hukum Perdata sebagai
persekutuan perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. ApalagI
setelah perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya
seperti para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana
mereka berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah,kompensasi
sewa rumah, uang pengganti BBM,asuransi jabatan,dan tantiem yang diistilahkan
dengan penghargaan atau insentif managemen. Secara keseluruhan masing-masing
direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir
1 MILYAR rupiah. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan
nomenklatur tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku
jabatan termasuk beberapa direksi Pelindo II dalam posisinya sebagai Dewan
Pengawas.
3. Analisis
Menurut saya dapat dilihat
bahwa menurut Albrecht, kecurangan adalah istilah umum, dan mencakup semua cara
dimana kecerdasan manusia dipaksakan dilakukan oleh satu individu untuk dapat
menciptakan cara untuk mendapatkan suatu manfaat dari orang lain dari representasi
yang salah.
Nah berdasarkan definisi tersebut maka
dapat diketahui bahwa Dari Kasus di atas Perusahaan TPK KOJA melakukan
pelanggaran etika hukum ketenagakerjaan dan korporasi.Dari Kasus diatas pihak
yang melakukan pelangaran adalah pihak manajemen KSO TPK KOJA, pihak Pelabuhan
Indonesia II (PELINDO II),dan Pihak Hutchison Port Indonesia (HPI).
Akibat dari pelanggaran ang dilakukan adalah
pelaksanaan kerjasama antara PT.PELINDO II dan PT.HPI saat ini cacat hukum dan
menyebabkan ketidakabsahaan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK KOJA
dikarenakan tidakada dokumen yang mengatakan bahwa PELINDO II mempunyai
hubungan kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT.HPI.
4. Referensi
http://alfiauliyansyah.blogspot.com/2013/11/pelanggaran-etika-bisnis.html
http://dhaniafadillah.blogspot.com/2013/02/kasus-perusahaan-yang-melakukan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar